Hai guysss . apasih medsos ituuu??? nih beberapa penjelasan tentang medsos . semoga bermanfaat:) 
Pengaruh Media Sosial Terhadap Perilaku di Kalangan Remaja

media sosial dan remaja
 
Dalam era globalisasi ini teknologi semakin maju, tidak dapat 
dipungkiri hadirnya internet semakin dibutuhkan dalam kehidupan 
sehari-hari, baik dalam kegiatan sosialisasi, pendidikan, bisnis, dsb. 
Kesempatan ini juga dimanfaatkan oleh 
vendor smartphone serta tablet murah yang menjamur dan menjadi 
trend . Hampir semua orang di Indonesia memiliki 
smartphone , dengan semakin majunya internet dan hadirnya 
smartphone maka media sosial pun ikut berkembang pesat.
Media sosial merupakan situs dimana seseorang dapat membuat 
web page
 pribadi dan terhubung dengan setiap orang yang tergabung dalam media 
sosial yang sama untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Jika media 
tradisional menggunakan media cetak dan media 
broadcast , maka media sosial menggunakan internet. Media sosial mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpartisipasi dengan memberi 
feedback secara terbuka, memberi komentar, serta membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas.
Sangat mudah dan tidak membutuhkan waktu yang lama bagi seseorang 
dalam membuat akun di media sosial. Kalangan remaja yang mempunyai media
 sosial biasa nya memposting tentang kegiatan pribadinya, curhatannya, 
serta foto-foto bersama teman-temannya. Semakin aktif seorang remaja di 
media sosial maka mereka semakin dianggap keren dan gaul. Namun kalangan
 remaja yang tidak mempunyai media sosial biasanya dianggap kuno, 
ketinggalan jaman, dan kurang bergaul.
Media sosial menghapus batasan-batasan dalam bersosialisasi. Dalam 
media sosial tidak ada batasan ruang dan waktu, mereka dapat 
berkomunikasi kapanpun dan dimanapun mereka berada. Tidak dapat 
dipungkiri bahwa media sosial mempunyai pengaruh yang besar dalam 
kehidupan seseorang. Seseorang yang asalnya kecil bisa menjadi besar 
dengan media sosial, begitu pula sebaliknya.
Bagi masyarakat Indonesia khususnya kalangan remaja, media sosial 
seakan sudah menjadi candu, tiada hari tanpa membuka media sosial, 
bahkan hampir 24 jam mereka tidak lepas dari 
smartphone . Media
 sosial terbesar yang paling sering digunakan oleh kalangan remaja 
antara lain; Facebook, Twitter, Path, Youtube, Instagram, Kaskus, LINE, 
Whatsapp, Blackberry Messenger. Masing-masing media sosial tersebut 
mempunyai keunggulan khusus dalam menarik banyak pengguna media sosial 
yang mereka miliki. Media sosial memang menawarkan banyak kemudahan yang
 membuat para remaja betah berlama-lama berselancar di dunia maya.
Pesatnya perkembangan media sosial juga dikarenakan semua orang 
seperti bisa memiliki media sendiri. Jika untuk media tradisional 
seperti televisi, radio, atau koran dibutuhkan modal yang besar dan 
tenaga kerja yang banyak, maka lain halnya dengan media sosial. Para 
pengguna media sosial bisa mengakses menggunakan jaringan internet tanpa
 biaya yang besar dan dapat dilakukan sendiri dengan mudah.
Para pengguna media sosial pun dapat dengan bebas berkomentar serta 
menyalurkan pendapatnya tanpa rasa khawatir. Hal ini dikarenakan dalam 
internet khususnya media sosial sangat mudah memalsukan jati diri atau 
melakukan kejahatan. Bahkan ada sebuah istilah yang dipopulerkan oleh 
Peter Steiner:
Analisis Sosiologis Media Sosial
Di era modern, manusia dipermudah dalam melakukan berbagai hal. Salah
 satu kemudahan yang diciptakan adalah berinteraksi melalui internet. 
Semakin berkembangnya internet memunculkan pola interaksi dapat 
dilakukan tanpa harus berada dalam ruang dan waktu yang bersamaan. 
Menurut Anthony Giddens, dengan adanya modernitas hubungan ruang dan 
waktu terputus yang kemudian ruang perlahan-lahan terpisah dari tempat.  Dari pernyataan tersebut 
dapat dilihat bahwa manusia menciptakan interaksi baru tanpa harus 
bertemu secara fisik, yang salah satunya dilakukan melalui internet 
khususnya media sosial.
Dalam kajian sosiologi, maraknya media sosial erat hubungannya dengan
 bagaimana kita bersosialisasi, berteman, berinteraksi. Dengan munculnya
 kedua media sosial tersebut kita mampu berkomunikasi satu sama lain, 
dalam ilmu sosiologi hal tersebut dinamakan bentuk komunikasi langsung. 
Komunikasi langsung dapat diartikan sebagai salah satu cara berinteraksi
 antara seseorang dengan orang lain secara langsung, baik melalui chat 
maupun melalui pesan.
Begitu pula dengan media sosial Facebook dimana kita juga bisa 
membuat sebuah grup, dalam konteks ini mengenai hubungannya dengan 
sosiologi, dengan fitur grup di Facebook, kita mampu membuat grup yang 
mampu berbagi mengenai ilmu-ilmu sosiologi ataupun bisa untuk memecahkan
 masalah yang sedang terjadi di masyarakat, karena didalam ilmu 
sosiologi, salah satu yang diajarkan adalah memecahkan masalah yang 
sedang terjadi di masyarakat, dan tentunya kita tahu bahwa obyek dalam 
ilmu sosiologi itu adalah masyarakat.
Jadi hubungan media sosial dengan ilmu sosiologi sangat erat. Dengan 
kedua media sosial tersebut kita mampu berinteraksi, dan berkomunikasi 
satu sama lain, bukan hanya itu kita juga bisa mendapatkan teman baru 
dan kita juga bisa saling 
sharing atau berbagi ilmu dan juga 
bisa memecahkan masalah yang sedang dihadapi di masyarakat. Apabila kita
 menyalahgunakan media sosial tersebut, kita akan membuat masalah bukan 
menyelesaikan masalah.
Berikut adalah beberapa dampak positif dan negatif dari jejaring sosial:
| Dampak positif | 
Dampak negatif | 
| Tempat promosi yang baik dan murah | 
Mengganggu kegiatan belajar remaja | 
| Dampak memperluas jaringan pertemanan | 
Bahaya kejahatan | 
| Media komunikasi yang mudah | 
Bahaya penipuan | 
| Tempat mencari informasi yang bermanfaat | 
Tidak semua pengguna media sosial bersifat sopan | 
| Tempat berbagi foto, informasi, dll. | 
Mengganggu kehidupan dan komunikasi keluarga | 
Media Sosial di Kalangan Remaja
Kata remaja berasal dari kata bahasa latin
 adolescere yang 
berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah ini mempunyai arti 
yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial,
 dan fisik. Masa remaja menunjukan dengan jelas sifat transisi atau 
peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi 
memiliki status anak. Masa remaja merupakan masa transisi sebab pada 
saat itu, seseorang telah meninggalkan masa kanak-kanak namun ia juga 
belum memasuki masa dewasa.
Kaum remaja saat ini sangat ketergantungan terhadap media sosial. Mereka begitu identik dengan 
smartphone yang hampir 24 jam berada di tangan dan sangat sibuk berselancar di dunia 
online
 yang seakan tidak pernah berhenti. Melihat hal ini, Sekolah Tinggi 
Sandi Negara (STSN) bersama Yahoo! melakukan riset mengenai penggunaan 
internet di kalangan remaja. Hasilnya menunjukkan, kalangan remaja usia 
15-19 tahun mendominasi pengguna internet di Indonesia sebanyak 64%.
Penggunaan media sosial di kalangan remaja ini juga menimbulkan pro 
dan kontra. Penggunaan media sosial seringkali mengganggu proses belajar
 remaja, sebagai contoh ketika sedang belajar lalu ada 
notification chatting
 dari teman yang akhirnya dapat mengganggu proses belajar, dan kebiasaan
 seorang remaja yang berkicau berkali-kali di Twitter yang terkadang 
hanya untuk mengeluhkan betapa sulit pelajaran yang sedang dia kerjakan.
Tidak berhenti sampai di situ saja. Yang lebih parah ada beberapa 
kasus seorang remaja yang dilaporkan hilang oleh orangtuanya yang 
ternyata kabur dengan teman yang baru dikenalnya di Facebook. Lalu apa 
yang menyebabkan seorang remaja begitu aktif di jejaring sosial? Dalam 
sebuah penelitian dinyatakan, media sosial berhubungan dengan 
kepribadian 
introvert. Semakin 
introvert
 seseorang maka dia akan semakin aktif di media sosial sebagai 
pelampiasan. Peran orangtua sangat dibutuhkan sebagai pengawas dan juga 
sosok yang memahami anak. Keluarga harus dapat memberikan fungsi afektif
 agar seorang anak mendapatkan perhatian yang cukup.
Di kota besar seperti Jakarta, seringkali para remaja mengalami 
kekosongan karena kebutuhan akan bimbingan orangtua tidak ada atau 
kurang. Hal ini disebabkan karena keluarga mengalami disorganisasi. Pada
 keluarga yang secara ekonomis kurang mampu, hal tersebut disebabkan 
karena orang tua harus mencari nafkah, sehingga tidak ada waktu sama 
sekali untuk memperhatikan dan mengasuh anak-anaknya. Sedangkan pada 
keluarga yang mampu, persoalannya adalah karena orang tua terlalu sibuk 
dengan urusan-urusan di luar rumah dalam rangka mengembangkan prestise. 
Kalangan remaja yang menjadi 
hiperaktif di media sosial ini juga sering memposting kegiatan 
sehari-hari mereka yang seakan menggambarkan gaya hidup mereka yang 
mencoba mengikuti perkembangan jaman, sehingga mereka dianggap lebih 
populer di lingkungannya.
Contohnya saja di Twitter, para remaja menampilkan diri melalui mengunggah 
avatar yang paling bagus dilihat, memposting 
tweet dan 
retweet
 sebanyak-banyaknya dengan tujuan memperlihatkan eksistensinya di dunia 
maya, mereka berusaha memperlihatkan eksistensi dirinya serta membangun 
citra sebaik mungkin. Para remaja juga berusaha memperlihatkan citra 
positif di Twitter. Begitupun halnya dengan Facebook, para remaja mem
posting
 foto-fotonya yang sedang bersenang-senang dengan teman-temannya dan 
seolah memperlihatkan betapa bahagia dirinya. Dengan demikian, dapat 
dikatakan individu menjadikan media sosial sebagai media presentasi 
diri.
Namun apa yang mereka posting di media sosial tidak selalu menggambarkan keadaan 
social life
 mereka yang sebenarnya. Ketika para remaja tersebut memposting sisi 
hidup nya yang penuh kesenangan, tidak jarang kenyataannya dalam 
hidupnya mereka merasa kesepian. Manusia sebagai aktor yang kreatif 
mampu menciptakan berbagai hal, salah satunya adalah ruang interaksi 
dunia maya. Setiap individu mampu menampilkan karakter diri yang berbeda
 ketika berada di dunia maya dengan dunia nyata. Hal ini dalam sosiologi
 disebut dengan istilah dramaturgi atau presentasi diri (
The Presentation of Self ) untuk menjelaskan bagaimana seseorang menampilkan diri pada lingkungan atau panggung tertentu. 

The Presentation of Self by Erving Goffman
 
Teori dramaturgi dipopulerkan oleh Erving Goffman yang pada intinya 
untuk memahami perilaku manusia dalam kehidupan sosial seperti sebuah 
pertunjukan drama. Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia 
adalah tidak stabil dan bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi
 dengan orang lain.
Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan 
teater. Setiap individu adalah aktor yang berusaha membuat pertunjukan 
dramanya sendiri. Dalam mencapai tujuannya, para remaja berusaha 
mengembangkan perilaku-perilaku yang mendukung perannya tersebut. Aktor 
juga harus memperhitungkan setting, kostum, penggunaan kata dan lainnya 
untuk meninggalkan kesan baik pada lawan interaksi dan memudahkan jalan 
untuk mencapai tujuan yang oleh Goffman disebut manajemen daya tarik (
impression management). 
Goffman juga melihat perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (
front stage ) dan di belakang panggung (
back stage). 
Front stage
 adalah ketika adanya penonton yang melihat kita dan kita sedang berada 
dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk memainkan peran 
kita sebaik-baiknya agar penonton simpatik. Sedangkan 
back stage
 adalah keadaan di mana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi
 tidak ada penonton, sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa 
memperdulikan peran yang harus kita bawakan. Apabila bisa dilakukan 
dengan baik, penonton akan termanipulasi dan melihat aktor sesuai sudut 
yang ingin ditampilkan oleh aktor tersebut.
Contoh konkrit dalam media sosial adalah ketika seorang remaja 
memperkenalkan diri melalui Facebook. Akun Fcebook tersebut sengaja 
dibuat agar mempunyai citra yang baik untuk mewakili peran yang akan 
dimainkan oleh si pemilik. Begitu pula saat mereka mem
posting status, komentar, dan foto. Mereka sengaja membangun sebuah 
image yang baik, yang ingin diperlihatkan pada teman-temannya. Apa yang mereka perlihatkan di akun Facebook adalah sebuah 
front stage
 dari diri seorang remaja, dan teman-teman mereka di Facebook adalah 
penontonnya. Para remaja akan membuat segala macam cara untuk 
mempertahankan eksistensi diri mereka dalam lingkungannya. Mereka akan 
merasakan kebahagiaan tersendiri ketika orang lain dapat melihat image 
diri yang mereka bangun di akun Facebook-nya dan akan lebih bahagia lagi
 ketika ada temannya yang merasa iri dengan 
image yang mereka perankan.
Namun segalanya berubah ketika kita melihat para remaja tersebut 
dalam kehidupan sehari-hari. Panggung tempat mereka bermain adalah 
panggung 
back stage, tidak ada penonton dari teman-teman nya di
 media sosial, mereka menampilkan peran yang berbeda dengan apa yang 
mereka bangun di panggung 
front stage .
Sehingga tidak mengherankan jika suatu saat kita bertemu dengan 
seseorang yang berbeda jauh ketika berada di Twitter dengan ketika 
berada di realitas nyata. Contohnya, seseorang yang kita lihat sangat 
humoris dan banyak berbicara di dunia maya, tetapi ketika berinteraksi 
dalam kehidupan nyata ternyata ia adalah sosok yang pemalu dan pendiam. 
Namun biasanya yang dapat melihat peran 
back stage seseorang 
adalah keluarganya, karena keluarga tentu sudah tahu sifat asli dari 
remaja tersebut. Mereka tidak perlu membangun suatu panggung ketika 
berinteraksi dengan keluarga nya sendiri.
Para penonton remaja yang sedang berakting di 
front stage seringkali tertipu dan tidak dapat lagi membedakan apakah kehidupan serta 
image
 seorang remaja yang mereka lihat di sebuah media sosial adalah diri 
mereka yang sebenarnya atau yang palsu. Di tengah kemajuan teknologi 
informasi dan komunikasi, realitas telah hilang dan menguap. Kini kita 
hidup di zaman simulasi, di mana realitas tidak hanya diceritakan, 
dipresentasikan, dan disebarluaskan namun juga dapat direkayasa, dibuat 
dan disimulasi. Baudrillard memandang era simulasi dan hiper-realitas 
sebagai bagian dari rangkaian fase citraan yang berturut-turut.
Baudrillard menyatakan bahwa kita terbiasa hidup dalam cermin 
fantasi, dalam diri yang terbagi dan dalam alienasi. Saat ini kita hidup
 dalam fantasi sebuah layar, dan jaringan. Seluruh mesin kita adalah 
layar-layar. Kita pun akan menjadi layar dan interaksi manusia akan 
berubah menjadi interaksi pada layar. Kita dalah citra bagi satu sama 
lain, dimana satu-satunya takdir bagi sebuah mahluk citra adalah menjadi
 pengikut citra dalam layar.
Pernyataan Baudrillard bahwa “saat ini kita hidup dalam fantasi 
sebuah layar, dari sebuah antarmuka, dalam persentuhan dan jaringan,” 
sesuai dengan kenyataan bahwa manusia di masa kini yang terkoneksi 
antara satu dengan yang lain melalui penggunaak smartphone maupun tablet
 meningkatkan kemudahan manusia untuk terhubung pada manusia lain 
melalui jaringan internet dan tentunya layar.
Manusia akhirnya menjadi teralienasi dengan lingkungan sosial dengan lingkungan sekitar mereka, karena mereka sibuk dengan 
gadget
 masing-masing. Mereka terjebak dalam pencitraan di dunia virtual, baik 
dalam menciptakan citranya sendiri maupun dalam memandang manusia lain. 
Ini pun sesuai dengan pernyataan Baudrillard, “kita terbiasa hidup dalam
 cermin fantasi, dalam diri yang terbagi dan dalam alienasi.”
Manusia saat ini terhubung dengan berbagai aplikasi media sosial yang
 membantu mereka untuk terhubung dengan manusia lain yang bisa berjarak 
ribuan mil melalui layar dan jaringan. Namun pada saat yang sama membuat
 jarak dengan mereka yang dekat dan mengalienasi mereka dengan 
lingkungan sosialnya. Manusia pun terjebak menjadi mahluk citra, baik 
dalam artian secara harfiah maupun secara kiasan.